Posted by
Unknown
on
- Get link
- X
- Other Apps
Tidak semua hal dapat dilupakan dengan mudah. Meskipun telah berjuang sekeras mungkin. Seperti ingatan-ingatan berkarat yang masih memenuhi ruang pikiran. Aku sedang membicarakan dia. Masa lalu, kenangan yang kupikir telah kumakamkan dengan baik. Tapi ternyata tidak. Sebab itu aku meringkuk disudut ini. Aku yakin dia pun tak akan melupakanku begitu saja. Sorot matanya yang tak sengaja kutatap tadi masih menandakan ingatan yang terekam kuat dan jelas. Meskipun kini banyak yang berubah pada diriku setelah tiga tahun yang lalu, seperti; rambut tergerai yang kini telah kulindungi dengan jilbab serta sepasang mata yang selalu jadi tema puisinya sudah tertutupi oleh lensa kacamata minus dua.
Tapi memang benar, dia ataupun aku tak 'kan dapat benar-benar saling melupakan.
**
"Selalu ada kamu disela jalinan jemari yang bertasbih. Adakah rindu sekhusyuk ini."
Satu bait puisiku dibaca oleh kakak senior. Hal pertama yang harus kupastikan adalah dia tidak akan terlalu percaya diri bahwa puisiku untuk dia.
Namanya Kafka, lelaki yang tiga tahun silam adalah sahabatku. Namun kini menjelma jadi sosok yang kujauhi. Setahun terakhir ini aku hampir sukses menjalani hari-hariku tanpa dia, meski mengingatnya kerap menganggu, tapi semuanya masih berjalan dengan baik.
Namun siapa yang dapat menghindar dari rencana Tuhan, jika kini aku harus bertemu dengannya lagi?
Dua pekan lalu, aku mendaftar sebagai anggota Klub Puisi Travel untuk mengisi liburan akhir tahun. Pagi tadi aku beserta rombongan dari kota tiba disini, disebuah Rumah Sastra tempat kami akan belajar puisi selama tiga hari. Siapa sangka, ternyata Kafka yang kupikir telah kembali ke kampung halamannya setelah menamatkan SMA di kotaku tiga tahun yang lalu malah jadi salah satu pembina di Rumah Sastra. Itulah kenapa aku merasa sedang dalam keadaan yang tidak aman.
Perihal rasa yang harus tetap kusembunyikan inilah alasan kenapa aku harus menghindari Kafka. Semasa SMA, kedekatanku dengannya menumbuhkan rasa yang tak biasa. Aku sadar itu hal yang wajar tapi disisi lain aku menganggap itu salah. Aku tidak ingin merusak persahabatanku dengan Kafka hanya karena adanya cinta sepihak. Sebab itu, setelah kembali ke kampung halamannya, aku berusaha melupakan Kafka. Nomor teleponku terpaksa ku ganti, pertemanan kami di berbagai media sosial harus ku blokir. Semua itu hanya agar tak ada lagi kontak antara kami. **
Hari kedua di Rumah Sastra. Sejak kemarin aku berhasil menghindari Kafka dengan tidak banyak keluar dari penginapan. Tapi dikelas Puisi hari ini senior yang memandu untuk Puisi Travel di dalam hutan adalah dia beserta beberapa pembina dari Klub kami. Jangankan berkomentar, melirik saja aku tak mampu. Takut, jika tatapan kita bertemu lagi.
Kelas puisi tengah melingkar diatas sebuah tikar di bawah pepohonan rindang di dalam hutan. Kali ini kita ditugaskan menulis puisi dengan tema `Hutan`. Aku sibuk menguras otak, sibuk juga mengatur hati. Kafka berusaha tidak kutatap sama sekali. Begitu pun dia, mungkin kita sama-sama sedang saling melupakan, tidak menginginkan, dan memang itu yang aku mau.
`Rindu ini, dik. Telah ku rawat sedemikian rupa. Menghutan dalam hatiku dengan kamu sebagai pohon ingatan yang kian rindang.`
Seketika aku terkesiap. Ketika suara itu mulai bergetar disekitar, mataku dengan refleks menapat ke arahnya yang sedang membaca puisi di depan. Akhirnya pandangan kami terperangkap dalam sekian detik.
**
Hujan semakin deras saja ketika teman-teman kelas puisiku sudah tidak ada ditempat semula. Hari kian sore dan aku terlambat kembali setelah menjelajahi hutan seorang diri. Beruntung aku hafal jalan keluar. Di sebuah gua kecil buatan aku berteduh sambil menunggu hujan reda. Tiba-tiba seseorang muncul di depan gua, dia Kafka.
"Aku akan mengantarmu ke penginapan!" Ucapnya sedikit berteriak.
Aku tak menjawab, kupalingkan wajah, benar-benar tak ingin melihatnya.
"Mei, jangan pura-pura bodoh. Aku masih sahabatmu. Kau mungkin bisa lupa, tapi tidak dengan aku." Kafka, dia telah mengatakan sesuatu dan aku tidak bisa melerai haru yang seketika menyelusup.
Aku tetap tak bergeming.
Kafka diam, aku yakin dia pasti tengah menatapku lekat mencari jawaban pada wajahku yang tak lagi bersahabat. Sama seperti dulu jika aku enggan bicara, maka Kafka akan membaca perso'alannya dari raut wajahku.
Dan seorang Kafka tidak pernah salah menebak. `Kenapa sih, kamu harus merumitkan sesuatu yang sebenarnya sederhana?` Tepat, dia sudah tahu. Aku membenamkan wajah dengan kedua telapak tangan. Perasaan ini benar-benar tak tahu diri.
Beberapa menit berlalu. Kafka sudah tidak didepan gua, tapi payung yang tadi menaungi kepalanya dari air hujan tergeletak didepan pintu gua.
Selepas magrib aku tiba di penginapan. Di teras aku melihat lelaki duduk santai seolah sedang menunggu kedatanganku. Dia masih, masih sama seperti dulu. Kukuh dan pantang menyerah.
"Kau pikir aku akan membiarkan rindu ini semakin sekarat? Jika ada wanita yang pantas ku perjuangkan, itu kamu!".
Hah, Kafka. . .
***
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment